Judul : Bisnis Startup = Memasuki Dunia yang Tak Pasti?
link : Bisnis Startup = Memasuki Dunia yang Tak Pasti?
Bisnis Startup = Memasuki Dunia yang Tak Pasti?
Pagi tadi, secara tidak sengaja saya menemukan sebuah artikel yang cukup menarik untuk saya. Judul bertuliskan "Belajar dari Mundurnya Para Petinggi Startup di Indonesia" dengan huruf yang tercetak tebal membuat mata saya langsung tertuju pada artikel tersebut dan membukanya. Secara singkat, artikel tersebut mempertanyakan mengapa orang-orang hebat di balik berdirinya startup besar di Indonesia malah mengundurkan diri dan melirik bisnis lain. Dan penulis artikel tersebut memberikan simpulan yang cukup lugas, namun sayang belum membuat saya puas sebagai pembaca.
Memang beberapa minggu belakangan dunia startup cukup dikejutkan dengan mundurnya tiga founder dari perusahaan rintisan yang mereka bangun. Ketiga orang itu adalah Ken Dean Lawalata, Michaelangelo Moran dan Alamanda Shantika Santoso. Mungkin nama-nama mereka terdengar asing di telinga Anda, tapi saya yakin sebagai pengguna internet Anda tidak mungkin tidak mengenal Kaskus. Atau bagi yang setiap hari bergelut dengan kemacetan ibu kota, tidak mungkin Anda tidak kenal dengan GoJek, aplikasi solusi pengurai kemacetan. Ken Dean Lawalata adalah salah satu pendiri Kaskus bersama Andrew Darwis, dan dua nama yang belakangan saya sebut adalah nama yang terlibat saat mendirikan GoJek sejak awal bersama Nadiem Makarim. Kaskus dan GoJek adalah dua perusahaan rintisan yang saat ini semakin besar, Kaskus menjadi situs komunitas yang terbesar di Indonesia dan GoJek menjadi startup Unicorn pertama dari Indonesia dengan valuasi lebih dari satu miliar dollar Amerika Serikat.
Jika melihat 'anak' mereka yang semakin besar, bisa dibilang bahwa ketiga orang ini sudah membawa perubahan signifikan bagi perkembangan industri digital di Indonesia. Jika kita berpikir secara rasional, sudah pasti materi yang mereka dapat jumlahnya berlipat-lipat ganda dari modal awal yang mereka gelontorkan. Kerja keras yang mereka lakukan berbuah hasil yang sepadan. Lantas mengapa mereka mau melepaskan begitu saja 'anak' yang sudah mereka besarkan dengan susah payah. Adalah sebuah pertanyaan besar yang terbersit saat mendengar kabar mundurnya ketiga orang ini dari perusahaan yang mereka rintis.
Pikirkan saja, ketiga orang ini sudah merasakan pahit manisnya membangun perusahaan. Istilah lain, mereka sudah berdarah-darah dalam mendirikan Kaskus dan GoJek. Kaskus dan GoJek sudah menjadi perusahaan dengan nama yang sangat besar di Indonesia. Mereka terus merangkak naik dan bisa saja menjadi penguasa di lini bisnis dan segmen yang masing-masing mereka masuki. Dari beberapa media dikabarkan bahwa Ken banting stir ke dunia bisnis properti, Michaelangelo memutuskan untuk melirik bisnis lain, sedangkan Ala--panggilan akrab Alamanda, masih tetap berkecimpung di industri digital dengan mendirikan startup baru.
Menurut saya apa yang dilakukan Ken dan Mikey--sapaan akrab Michaelangelo-- adalah hal yang realistis, tapi keputusan yang diambil Ala untuk membangun startup-startup baru adalah keputusan yang bijak. Startup atau bisnis rintisan memang tengah menjamur bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia. Bahkan kampus almamater saya pun sudah menyediakan fasilitas inkubasi (seperti karantina untuk pembuat startup) di mana mereka diberikan modal dan pelatihan agar perusahaan rintisan yang mereka buat bisa menggebrak pasar digital. Pesona startup memang memberikan warna tersendiri bagi dunia industri.
Gaya usaha yang tradisional, kaku dan tidak mengenal kemodernan bisa saja berbalik menjadi industri yang luwes dan fleksibel mengikuti perkembangan zaman. Contohnya mudahnya saja adalah GoJek, aplikasi yang dapat memanggil pengemudi ojek untuk mengantar kita ke tujuan. Awalnya ketika kita ingin menggunakan jasa ojek maka kita harus berjalan menuju pangkalan, tawar menawar harga, barulah kita diantarkan. Sekarang dengan adanya aplikasi ini, semua kemudahan berada dalam genggaman. Ya, itulah salah satu contoh yang membuat startup menjadi primadona di kalangan muda. Tapi apakah mudah mendirikan dan membesarkan sebuah perusahaan rintisan? Tentu tidak. Saya pun dulu bersama kawan-kawan pernah membuat sebuah perusahaan rintisan. Membuat konsep awal, mengumpulkan modal, menentukan langkah, hingga eksekusi membuat konsep tersebut menjadi nyata.
Sebagai pelaku, saya menilai mendirikan startup adalah sebuah perjudian besar. Anda membutuhkan waktu, sumber daya manusia dan konsistensi besar untuk membuat sebuah startup berhasil. Dalam membangun startup Anda harus siap mengorbankan banyak hal, terutama waktu, tenaga dan pikiran. Karena setiap langkah kecil yang Anda ambil akan sangat menentukan masa depan perusahaan itu sendiri. Hidup dan mati sebuah startup pun hampir tidak bisa diramalkan. Minggu ini perusahaan Anda masih berkibar dengan nama besar tapi bisa saja di minggu berikutnya Anda sudah tidak memiliki apa-apa lagi dari startup yang Anda bangun.
Startup penuh dengan ketidakpastian, lika liku bisnis yang dinamis membuat ketidakpastian ini menjadi satu-satunya kepastian yang dimiliki oleh perusahaan rintisan. Bahkan menurut survey Forbes, 90 persen startup di dunia mengalami kegagalan. Artinya kemungkinan sebuah startup bisa berhasil hanya 10 persen di seluruh dunia. Angka yang sangat kecil ini bisa saja Anda dapatkan, bergantung pada optimistis serta kemampuan Anda dalam mengelola perusahaan rintisan. Ken dan Mikey mungkin melihat ketidakpastian ini, sehingga mereka melirik bisnis lain yang lebih terjamin kepastiannya. Berbeda dengan Ala yang masih ingin bergelut dengan ketidakpastian, menurut saya keputusan ini sangat bijak. Dalam artikel yang saya baca tadi pagi, penulis mengungkapkan rasa optimistisnya dan mengatakan bahwa anak muda hanya perlu fokus pada apa yang sedang mereka lakukan tanpa harus berpikiran terlalu jauh ke depan. Tapi pendapat saya berbeda. Anak muda pun harus tetap memikirkan masa depan.
Anak muda harus bisa menentukan sikap yang mereka ambil, apakah realistis atau idealis. Ken dan Mikey mengambil keputusan yang realistis. Mereka ingin mendapat kepastian yang lebih besar dibandingkan berkecimpung di dunia startup yang penuh kegalauan. Keputusan Ala lebih idealis yang ingin terus mendirikan "bayi-bayi" rintisan agar menjadi jauh lebih besar yang kemudian bisa membawa nama baik Indonesia seperti GoJek di mata dunia. Tidak ada yang salah dari kedua keputusan ini,. Jika saya berada di posisi mereka dan ditanya keputusan apa yang diambil, maka saya akan dengan tegas menjawab: saya akan idealis seperti Ala, tapi dengan tidak mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan lain.
Jujur, saya bukan orang yang menyukai hidup dalam ketidakpastian. Sebagai anak muda, harus ada visi hidup yang jelas ke depan seperti apa. Tapi di sisi lain, bergelut di dunia startup dapat membawa kita pada kedewasaan. Banyak sekali pelajaran yang akan Anda dapatkan dengan ikut bergerak bersama startup dan inilah yang mungkin dilihat oleh Ala. Segala kemungkinan harus diperjuangkan. Tapi tentu saja, seperti yang saya katakan sebelumnya, hidup harus memiliki visi yang jelas, memiliki kepastian. Apalagi ada ke depan ada banyak tuntutan-tuntutan yang harus siap kita hadapi dalam siklus kehidupan yang membutuhkan segala kepastian. Tapi yang jelas, mundurnya ketiga founder startup besar ini tentu bisa kita jadikan pelajaran. Bahwa anak muda boleh saja menaruh harap yang begitu besar, berjudi dengan kehidupan. Tapi anak muda tidak boleh melepaskan kepastian masa depan begitu saja. Duh pusing
Yudha Pratomo
Demikianlah Artikel Bisnis Startup = Memasuki Dunia yang Tak Pasti?
Sekianlah artikel
Bisnis Startup = Memasuki Dunia yang Tak Pasti?
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Bisnis Startup = Memasuki Dunia yang Tak Pasti? dengan alamat link https://waktunyaberbisnisonline.blogspot.com/2016/10/bisnis-startup-memasuki-dunia-yang-tak.html