Era Ketika Marketer Sudah Jadi Zombie

Era Ketika Marketer Sudah Jadi Zombie - Hallo sahabat Belajar Bisnis Online , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Era Ketika Marketer Sudah Jadi Zombie , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Bisnis , Artikel inovasi , Artikel inspirasi , Artikel marketing , Artikel Motivasi , Artikel pemasaran , Artikel sukses , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Era Ketika Marketer Sudah Jadi Zombie
link : Era Ketika Marketer Sudah Jadi Zombie

Baca juga


Era Ketika Marketer Sudah Jadi Zombie

(pic of Plant vs Zombie)
Siang itu, saya menunggu kabar telepon dari calon klien. Di sela-sela waktu rehat, hape saya bergetar. Spontan saya mengambil hp. “Ini dia…” guman saya. Sambil segera mengaktifkan tombol call, saya siap menyapa calon klien dengan penuh semangat. “Selamat siang Bapak Boni?” sapa penelpon yang kebetulan seorang wanita. “Hhmm, iya. Maaf dari mana ini, mbak?” “Saya Dewi dari Bank X, sebelumnya kami ucapakan terima kasih atas kesetiaan Bapak menjadi nasabah kami. Sebagai tanda bukti terima kasih kami dan untuk meningkatkan mutu layanan kami, kami memberikan program perlindungan ekstra bla, bla, bla…  untuk mendapat manfaat tersebut, kami hanya melakukan debit otomatis hanya sebesar X rupiah setiap bulan secara praktis, bla, bla, bla…”

Rasanya sulit sekali memotong pembicaraan tanpa titik tersebut. Arah pembicaraan makin mengerucut pada tawaran semacam program perlindungan. Karena belum cukup tertarik, saya mencoba menolaknya dengan halus, “Maaf mbak, saya sudah ada program lain dan belum berminat dengan tawaran Anda.” Saya pikir dia akan mengakhiri pembicaraan dan ternyata tidak. Jawaban saya ternyata membuka topik baru. Ia lanjut bertanya, “Jika boleh tahu, program apa Pak? Mungkin kami bisa memberi penjelasan lebih rinci kelebihan manfaat program kami.” Jika diteruskan, bisa-bisa saya mendapat pertanyaan, “Mas Bon masih jomblo atau… ?”

Tentu Anda pernah menjumpai atau mengalami pengalaman serupa, bahkan dalam satu hari bisa mendapat 2 hingga 3 panggilan “spam”. Tawaran-tawaran penuh paksaan dan “jebakan”. Anda didesak, di-framing sedemikian rupa hingga mungkin sampai memutuskan berkata “ya” dan setiap bulan, saldo bank Anda terus terkuras. Anda mulai menyesal dan berasa kena “gendam”. Memang, Anda masih punya kesempatan untuk membatalkannya. Namun pada umumnya, prosedur pembatalan dirancang sebirokratif mungkin dan pakai lama agar Anda tidak mudah keluar dari ikatan tersebut.

Strategi marketing demikian sedang marak diadopsi perusahaan di Indonesia, khususnya penjual eceran baik itu produk jasa atau barang. Gerakan-gerakan marketing agresif yang bersifat offline banyak ditemui di pusat keramaian seperti mall. Bahkan mereka (SPG) tidak segan-segan menggandeng, menarik tangan pengunjung untuk (minimal) mendatangi stan-nya. Para salesman/ SPG dibentuk sebagai pemaksa yang agresif. Perusahaan menjanjikan bonus penjualan yang menggiurkan melalui prinsip sell or “die”.

Saya menilai hal ini sebagai pemudaran (desaturasi) value di dalam kegiatan marketing. Marketing bukan lagi menjadi proses bisnis yang sehat, namun menjadi arena persaingan yang keras, baik antarmarketer, baik di dalam satu perusahaan maupun antarperusahaan. Akibatnya, marketer identik dengan stereotip sebagai pemaksa dan pekerja ulet yang hanya peduli omzet dan keuntungan pribadi. Blogger dan pakar marketing Drew Beechler mengumpulkan data persepsi masyarakat yang menyebut marketer modern sebagai mad man drama, workaholic,  dan professional spammer. Saya tidak akan membahas stereotip tersebut, namun lebih melihat ke belakang, mengapa mereka bersikap agresif demikian?

Hakikinya, marketing adalah konsep yang baik karena aktivitas inilah yang nantinya menjadi mediator penyampaian value dari tangan produsen ke tangan pengguna/ konsumen. Persaingan bisnis, munculnya produk alternatif, dan tekanan regulasi pemerintah ditengarai sebagai penyebab desaturasi marketing. Namun jika dianalisis lebih mendalam, desaturasi marketing terjadi bukan hanya karena faktor eksternal, namun sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis tim manajemen perusahaan seperti kekhawatiran perusahaan akan going concern di masa mendatang dan ketakutan terhadap manuver pesaing yang spektakular. Akhirnya, strategi yang dianggap baik untuk survive adalah bergerak lebih agresif mengalahkan pesaing dan menguasai pasar. Filosofi kebaikan marketing telah memudar, kehilangan jiwa layaknya zombie.

...
...
...


*Pendahuluan buku Exist/ Extinct (Bonnie Soeherman), September-Oktober 2016


Demikianlah Artikel Era Ketika Marketer Sudah Jadi Zombie

Sekianlah artikel Era Ketika Marketer Sudah Jadi Zombie kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Era Ketika Marketer Sudah Jadi Zombie dengan alamat link https://waktunyaberbisnisonline.blogspot.com/2016/08/era-ketika-marketer-sudah-jadi-zombie.html